ISLAM DAN PERADABAN
(Relasi Wahyu Ilahiyyah dan Budaya Insaniyyah)
A. Antaran
Sejarah peradaban Islam merupakan salah satu bidang kajian studi Islam
yang banyak menarik perhatian para peneliti baik dari kalangan Muslim maupun
non Muslim. Dengan mempelajari sejarah Islam, kita memungkinkan mengetahui masa-masa
atau zaman kejayaan Islam, sehingga memungkinkan kita untuk bangga dan percaya
diri sebagai umat Islam dan mengambil I’tibar. Demikian pula masa-masa
kemunduran Islam dapat kita ketahui, dan kita dapat mengambil pelajaran dan
pengalaman agar tidak terulang kembali (al
muhafadzah ala qadim ash shalih wal ahdzu bi al jadid al ashlah) serta kita
dapat menentukan langkah ke depan demi menemukan jalan alternatif demi kejayaan
Islam. Kita semua sadar tentunya bahwa al-Islam
ya’lu wala yu’la ‘alaihi.
Menyadari hal di
atas, bidang kajian sejarah peradaban Islam merupakan suatu bidang kajian yang
cukup signifikan untuk dipelajari. Untuk itu sebagai kerangka awal di paper
ini dicoba dibahas tentang beberapa konsepsi
dasar dari sejarah peradaban Islam, disini diuraikan tentang relasi islam
sebagai wahyu ilahiyyah disatu sisi dan peradaban ---yang didalamnya juga
termasuk kebudayaan--- pada sisi yang
lain dan itu merupakan ranah kemanusiaan (insaniyah).
B. Konsepsi Sejarah Islam
Sejarah adalah
kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa yang lampau atau
peristiwa penting yang benar-benar terjadi[1].
Definisi ini lebih menekankan pada materi peristiwa tanpa mengaitkan dengan
aspek yang lainnya. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, sejarah adalah
gambaran masa lalu tentang aktivitas kehidupan manusia sebagai makhluk sosial
yang disusun berdasarkan fakta dan interpretasi terhadap objek peristiwa masa
lampau[2].
Dari sisi epistimologis sejarah yang dalam bahasa arabnya disebut tarikh,
mengandung arti ketentuan masa atau waktu. Ada pula sebagian orang
yang mengajukan pendapat bahwa sejarah sepadan dengan kata syajarah yang
berarti pohon (kehidupan), riwayat, atau kisah, tarikh, ataupun history
dalam bahasa Inggris. Dengan demikian sejarah berarti gambaran masa lalu
tentang aktivitas kehidupan manusia
sebagai makhluk sosial yang disusun berdasarkan fakta dan interpretasi
terhadap obyek peristiwa masa lampau , yang kemudian itu disebut sejarah kebudayaan. [3]
Sedangkan secara
terminologi sejarah diartikan sebagai sejumlah keadaan dan peristiwa yang
terjadi dimasa lampau dan yang benar-benar terjadi pada individu dan
masyarakat. Adapun inti pokok dari persoalan sejarah pada dasarnya selalu
berhubungan dengan pengalaman-pengalaman penting yang menyangkut perkembangan
keseluruhan keadaan masyarakat. Untuk itu sejarah bukanlah peristiwa-peristiwa itu
sendiri melainkan tafsiran-tafsiran dari peristiwa, dan pengertian mengenai
hubungan-hubungan nyata dan tidak nyata yang menjadi seluruh bagian serta
memberikan dinamisme dalam waktu dan tempat tertentu. [4]
Sejarah Islam adalah peristiwa-peristiwa
atau kejadian-kejadian yang sungguh terjadi pada masa lampau yang seluruhnya berkaitan dengan agama
Islam. Agama Islam terlalu luas cakupannya, maka sejarah Islam pun menjadi luas
cakupannya. Di antaranya berkaitan dengan sejarah proses pertumbuhan,
perkembangan, dan penyebaran Islam, tokoh-tokoh yang melakukan perkembangan dan
penyebaran agama Islam, sejarah kemajuan dan kemunduran yang dicapai umat Islam
dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang ilmu pengetahuan agama dan umum,
kebudayaan, arsitektur, politik, pemerintahan, peperangan, pendidikan, ekonomi,
dan lain sebagainya.
Dengan demikian, sejarah Islam adalah berbagai peristiwa atau kejadian yang
benarbenar terjadi yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan Islam
dalam berbagai aspek. Dalam kaitan ini, maka muncullah berbagai istilah yang
biasanya digunakan untuk sejarah itu, di antaranya: Sejarah Islam, Sejarah
Kebudayaan Islam dan Sejarah Peradaban Islam .
C. Identitas Kebudayaan Islam
Dalam ilmu antropologi, kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat
yang mendalam dari suatu masyarakat. Sedangkan manifestasi-manifestasi dari
kemajuan mekanis dari teknologi hal demikian lebih berkaitan dengan konsepsi peradaban.
Kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra, agama dan
moral, maka peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi dan teknologi. Kebudayaan mempunyai tiga wujud: Pertama, Wujud ideal, yaitu wujud
kebudayaan sebagai suatu komplek individu, gagasan, nilai-nilai, norma-norma,
peraturan dan sebagainya. Kedua, Wujud
kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu komplek aktivitas kelakuan
berpola dari manusia dalam masyarakat. Ketiga,
Wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya.
Para pakar sepakat bahwa kebudayaan adalah semua
hasil karya, karsa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat akan menghasilkan
tekhnologi dan kebudayaan kebendaan yang diperlukan manusia untuk menguasai
alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk keperluan
masyarakat. Karsa merupakan daya penggerak
(Drive) untuk memotivasi manusia dalam memikirkan segala sesuatu yang
ada dihadapan dan lingkungannya. Disamping itu Karsa masyarakat dapat
merlahirkan norma dan nilai-nilai yang sangat perlu untuk tata tertib dalam
pergaulan kemasyarakatan. Untuk menghadapi kekuatan-kekuatan buruk, manusia
terpaksa melindungi diri dengan cara menciptakan kaidah-kaidah yang pada
hakekatnya merupakan petunjuk-petunjuk tentang cara
bertindak dan berlaku dalam pergaulan hidup.
Kebudayaan pada setiap bangsa atau masyarakat terdiri atas unsur-unsur
besar dan unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari satu keutuhan yang tidak
dapat dipisahkan. Menurut Selo Soemarjan dan Soelaiman unsur-unsur kebudayaan
meliputi: alat-alat teknologi, sistem ekonomi, keluarga dan kekuasaan politik.
Sedang unsur-unsur kebudayaan menurut C.Kluckhon ---sebagaimana dikutip oleh
Koentjaraningrat --- adalah:
·
Peralatan dan perlengkapan hidup manusia
(pakaian, rumah, alat-alat transportasi)
·
Mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi
·
Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi,
politik, hukum)
·
Bahasa (lisan dan tulisan)
·
Kesenian (seni rupa, seni suara, dan seni gerak)
·
Sistem pengetahuan
·
Religi (sistem kepercayaan).
Effat al-Sharqawi mengatakan bahwa kebudayaan
adalah bentuk ungkapan semangat mendalam dari sebuah nilai yang terdapat dan
mendarah daging pada suatu masyarakat. Sedangkan manifestasimanifestasi
kemajuan mekanis dan tekhnologi lebih berkait dengan peradaban. Selanjutnya
Sharqowi berpendapat bahwa kebudayaan adalah apa yang kita rindukan (ideal),
sedangkan peradaban adalah apa yang kita pergunakan (real). Dengan kata
lain, kebudayaan terefleksi dalam seni, sastra, religi dan moral. Sedangkan
peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi, dan tekhnologi.
Dalam
kajian anthropologi, kita mengenal pengertian kebudayaan secara khusus dan
secara umum. Menurut pengertian khusus, kebudayaan adalah produk manusia di
bidang kesenian dan adat istiadat yang unik. Sedangkan kebudayaan dalam
pengertian umum adalah produk semua aspek kehidupan manusia yang meliputi:
sosial, ekonomi, politik, pengetahuan filosofi, seni dan agama.
Taylor
seorang ilmuwan Inggris, merumuskan kebudayaan sebagai keseluruhan yang
kompleks yang meliputi pengetahuan, dogma seni, nilai-nilai moral, hukum,
tradisi, sosial, dan semua produk manusia dalam kedudukannya sebagai
anggota-anggota masyarakat, termasuk dalam realitas ini adalah agama.
Adapun
yang dimaksud dengan Kebudayaan Islam adalah cara berpikir dan merasa Islam
yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan dari segolongan manusia yang
membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan suatu waktu inilah pemahaman
integralistik, menempatkan Islam sebagai sumber nilai dan motivasi bagi
tumbuhnya kebudayaan Islam. Dengan demikian yang dimaksud Sejarah Kebudayaan
Islam adalah gambaran produk aktivitas kehidupan ummat Islam pada masa lampau
yang bersumberkan pada nilai–nilai Islam. Hanya saja dalam berbagai risalah teks-teks
literatur yang ada seringkali penulisnya memberi narasinya dari segi politik. Ini
diasumsikan bahwa secara konseptual, dari sisi politik inilah sumber kebudayaan
Islam berputar.
D. Makna Peradaban Islam
Asumsi
dasar yang bisa kita bangun, bahwa peradaban berasal dari kata adab yang
dalam pengertian ini mengandung pengertian tata krama, perilaku atau sopan
santun. Dengan demikian peradaban adalah segenap prilaku sopan santun dan tata
krama yang diwujudkan oleh umat Muslim dari waktu ke waktu baik dalam realitas
politik, ekonomi dan sosial lainnya.
Secara
harfiah peradaban Islam itu terjemahan dari bahasa Arab al-khadlarah
al-Islamiyah, atau al-madaniyah al Islamiyah[5]
atau al-tsaqofah al Islamiyah, yang sering juga diterjemahkan dengan
kebudayaan Islam. Dalam bahasa Inggris ini disebut culture, adapula yang
menyebutnya civilization. Di Indonesia, Arab dan Barat masih banyak yang
mensinonimkan antara peradaban dengan kebudayaan.
Disisi yang lain, akar kata madana lahir kata
benda tamaddun yang secara literal berarti peradaban (civilization) yang
berarti juga kota berlandaskan kebudayaan (city base culture) atau
kebudayaan kota (cultural of the city). Di kalangan penulis Arab,
sendiri.perkataan tamaddun digunakan-kalau tidak salah-untuk pertama kalinya
oleh Jurji Zaydan dalam sebuah judul buku Tarikh al-Tamaddun al-Islami
(Sejarah Peradaban Islam), terbit tahun 1902-1906. Sejak itu perkataan tamaddun digunakan secara luas
dikalangan umat islam.[6]
Di dunia Melayu tamaddun digunakan untuk
pengertian peradaban. Di Iran orang dengan sedikit berbeda menggunakan istilah
tamaddon dan madaniyat. Namun di Turki orang dengan menggunakan akar madinah
atau madana atau madaniyyah menggunakan istilah medeniyet dan medeniyeti.
Orang-orang Arab sendiri pada masa sekarang ini menggunakan kata hadharah untuk
peradaban, namun kata tersebut tidak banyak diterima umat Islam non-Arab yang
kebanyaan lebih menyukai istilah tamaddun. Di benua Indo-Pakistan tamaddun
digunakan hanya untuk pengetian kultur, sedangkan peradaban menggunakan istilah
tahdhib.
Kata peradaban sering kali dikaitkan dengan
kebudayaan, bahkan banyak penulis barat yang mengidentikan “kebudayaan” dan
“peradaban” islam. Sering kali peradaban islam dihubungkan dengan peradaban
Arab, meskipun sebenarnya antara Arab dan Islam tetap bisa dibedakan. Adapun
yang membedakan antara kebudayaan tersebut adalah dengan adanya peningkatan
peradaban pada masa jahiliyah yang berasal dari kebodohan. Hal ini pada
akhirnya berubah ketika Islam datang yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW di
Arab. Sehingga pada masanya kemudian islam berkembang menjadi suatu peradaban
yang menyatu dengan bangsa Arab, bahkan berkembang pesat kebagian belahan dunia
yang lainnya, Islam tidak hanya sekedar agama yang sempurna melainkan sumber
peradaban islam.Peradaban merupakan kebudayaan yang berhubungan dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dimana kebudayaan tersebut tidak hanya
berpengaruh di daerah asalnya, tapi juga mempengaruhi daerah-daerah lain yang
menjadikan kebudayaan tersebut berkembang
Dengan
merujuk pada narasi diatas, maka dapat
dikonsepsikan bahwa Sejarah Peradaban Islam adalah gambaran produk aktivitas
kehidupan umat Islam pada masa lampau yang benar-benar terjadi dalam aspek
politik, ekonomi, dan tekhnologi yang bersumberkan pada nilai-nilai ajaran
Islam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Peradaban Islam merupakan
identitas ummat Islam sejak masa lampu.
E. Islam sebagai Sumber Budaya dan Peradaban
Sejumlah
pihak mengatakan bahwa agama Islam
setingkat dengan kebudayaan Islam. Dalam frame tertentu ini dinilai para pakar
Muslim hal yang dapat menyesatkan dan mengacaukan citra dan kemurnian Islam.
Dengan menyetingkatkan antara Agama Islam dengan Kebudayaan Islam, maka ini berarti
mereka telah menyetingkatkan antara agama (yang berasal dari Allah) dengan
kebudayaan (yang merupakan hasil cipta orang Islam), yang berarti pula
menyetingkatkan antara wahyu dengan akal. Berpendapat bahwa kebudayaan Islam
merupakan bagian dari din Islam ini berarti menunjukkan bahwa ia telah
memasukkan unsur-unsur yang aqli (hasil cipta orang Islam) ke dalam din
Islam, dan ini berarti pula bahwa mereka telah mencampur adukkan antara
wahyu dengan akal manusia.
Dalam
pandangan kelompok fundamentalis, pola pemikiran dan ide demikian dianggap
sangat berbahaya dan menyesatkan, karena dalam akidah Islam telah dijelaskan
bahwa Islam seluruhnya adalah wahyu, tidak ada bagian-bagian kebudayaan Islam
didalamnya. Agama atau wahyu tidak setingkat dengan kebudayaan Islam, karena
agama atau wahyu berasal dari Allah sedangkan kebudayaan Islam merupakan hasil
cipta, rasa dan karsa manusia. Oleh karena itu, pemikiran dan ide itu harus ditolak dan tidak dapat dibenarkan.
Sementara itu, para pemikir Barat juga memandang Islam
sebagai produk kebudayaan, misalnya disampaikan oleh H.A.R. Gibb yang
mengatakan bahwa “Islam is indeed much more than a sistem of theology it is
a complete civilization” .(Islam sesungguhnya lebih dari satu sistem
teologi. Ia adalah satu peradaban yang lengkap). Pendapat Gibb ini patut
apabila dikemukakan oleh kelompok orientalis, tetapi apabila begitu saja
ditelan mentah–mentah oleh ilmuan Islam akan melahirkan pemahaman yang cukup
rancu,
Memang
diakui bahwa antara agama dan budaya adalah dua bidang yang berhubungan dan
tidak dapat dipisahkan, akan tetapi keduanya berbeda. Agama bernilai mutlak,
tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan budaya , sekalipun
berdasarkan agama dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat.
Sebagian besar budaya didasarkan pada agama, namun tidak pernah terjadi
sebaliknya, agama berdasarkan pada budaya. Oleh karena itu bisa dikatakan agama
adalah primer dan budaya adalah sekunder. Budaya bisa merupakan ekspresi hidup
keagamaan, karena itu kebudayaan sub ordinat terhadap agama, dan tidak
pernah sebaliknya.
Agama
pada hakekatnya mengandung dua kelompok ajaran yaitu:
·
Ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan
melalui para Rasulnya kepada manusia yang ajarannya terdapat dalam kitab-kitab
suci. Karena merupakan wahyu dari Tuhan, maka ajaran tersebut bersifat absolut,
mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah.
·
Ajaran yang berupa penjelasan dari kitab
suci (baik mengenai arti maupun cara pelaksanaan) yang dilakukan oleh pemuka
atau ahli agama. Karena merupakan penjelasan dan hasil pemikiran pemuka atau
ahli agama, maka ajarannya bersifat relatif, nisbi, berubah dan dapat diubah
sesuai dengan perkembangan zaman.
Dalam
Islam, kelompok pertama terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist Mutawatir. AlQur’an
terdiri dari 6.300 ayat, tetapi yang mengatur tentang keimanan, ibadah,
muamalah dan hidup kemasyarakatan manusia, menurut penelitian ulama tidak lebih
dari 500 ayat. Ajaran dasar Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah yang periwayatannya
shahih) bukan termasuk budaya, tetapi pemahaman ulama terhadap ajaran dasar
agama merupakan hasil karsa ulama. Oleh karena itu ia merupakan bagian dari kebudayaan.
Akan tetapi umat Islam meyakini bahwa kebudayaan yang merupakan hasil upaya
ulama dalam memahami ajaran dasar agama Islam, dituntun dan memperoleh petunjuk
dari Tuhan, yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Hal inilah yang kemudian disebut
sebagai kebudayaan Islam.
Islam
dikemukakan oleh Bassam Tibi [7]
yaitu bahwa Islam merupakan sistem budaya. Menurutnya Islam sebagai sistem
budaya terdiri atas berbagai simbol yang berkorespondensi dan bergabung untuk
membentuk suatu model untuk realitas. Meski demikian dalam posisi tersebut
agama tidak dapat dipenetrasikan secara eksperimental, tetapi hanya sebatas
interpretatif. Dalam agama, konsepsi manusia mengenai realitas tidak didasarkan
pada pengetahuan tetapi pada keyakinan terhadap suatu otoritas ketuhanan yang terkonsepsikan
dalam kitab suci (Al-Qur’an). Al-Qur’an inilah yang mendasari semua bentuk
realitas. Selanjutnya konsep– konsep realitas yang dihasilkan manusia ini
mengalami perubahan yang paralel. Adaptasi dari konsep–konsep religiokultural
dengan realitas yang berubah kemudian membentuk suatu komponen sentral
dalam asimilasi budaya untuk perubahan. Dengan cara itulah perubahan terarah,
karena orang tidak begitu saja memberikan reaksi terhadap proses perubahan
dengan menggunakan inovasi budaya.
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa
hakekat agama memiliki aspek
ganda yakni :
·
Memberikan arti terhadap berbagai aspek realitas sosial
dan psikologis bagi para penganut-penganutnya, sehingga mendapatkan suatu
bentuk konseptual yang obyektif.
·
Agama dapat berwujud oleh realitas dan pada saat yang
sama membentuk realitas yang sesuai dengan realitas. Artinya interpretasi
simbol-simbol religiokultural membentuk bagian realitas, karena
simbol–simbol tersebut juga mempengaruhi realitas. Pada saat yang sama
perwujudan (pengamalan) dari simbol–simbol kepada realitas empirik membentuk
sebuah pola yang terstruktur dalam bentuknya yang biasa dikenal dengan
kebudayaan dan peradaban.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa Islam adalah sumber dari kebudayaan dan
peradaban Islam yang ada. Landasan Peradaban Islam adalah Kebudayaan Islam,
terutama wujud idealnya. Jadi, Islam bukanlah kebudayaan akan tetapi dapat
melahirkan kebudayaan. Kalau kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa
manusia, maka Islam adalah realitas pewahyuan dari Tuhan.
Dengan
mengambil tema Peradaban Islam bukan berarti masalah Kebudayaan Islam menjadi
tidak penting dalam studi Islam (Dirosah Islamiyyah). Masalah Kebudayaan Islam
penting sekali, karena ia merupakan landasannya. Oleh karenanya mengkaji Peradaban
Islam sama halnya juga mengakaji tentang Kebudayaan Islam.
Banyak penulis (Barat ataupun Timur) mengidentikkan
antara Kebudayaan dan Peradaban Islam dengan Kebudayaan dan Peradaban Arab.
Pada masa klasik, pendapat tersebut dapat dibenarkan, meskipun sebenarnya
antara Arab dan Islam berbeda. Pada masa Klasik, pusat pemerintahan hanya satu
(yaitu bangsa Arab) dan untuk beberapa abad sangat kuat. Peran bangsa Arab
sangat dominan, sehingga ungkapan budaya yang ada semuanya diekspresikan
melalui Bahasa Arab, pada akhirnya terwujud kesatuan budaya Islam.
Akan
tetapi seiring berjalannya waktu, muncullah periode pertengahan dan periode
modern, dimana bangsa non Arab mulai berpartisipasi dan membina suatu
kebudayaan dan peradaban. Walaupun pada masa tersebut ummat Islam masih
memandang wilayah kekuasaan Islam adalah sebagai tanah airnya. Agama Islam
masih dilihat sebagai tanah air dan kekuasaan.
Berpartisipasinya
bangsa non Arab dalam membina kebudayaan dan peradaban, bukan disebabkan karena
terjadinya disintegrasi antara kekuatan politik Islam dengan beberapa kerajaan
di dalam wilayah yang sangat luas, akan tetapi karena ungkapanungkapan
kebudayaan dan peradaban tidak lagi diekspresikan melalui satu bangsa. Bahasa
administratif pemerintahan Islam mulai berbeda-beda, seperti Persia, Turki,
bahkan peran orang Arab sudah menurun. Tiga kerajaan besar Islam pada periode
pertengahan tidak satupun yang dikuasai oleh bangsa Arab. Apalagi Islam sangat
toleran memperlakukan kebudayaan masyarakat setempat. Sejauh tidak menyimpang
dari prinsipprinsip ajaran Islam yang telah ada.[8]
Orang
Islam dalam proses menciptakan dan mengembangkan kebudayaan harus mampu
mempelopori dan membimbing terwujudnya kebudayaan yang belandaskan Islam.
Memelihara dan mempertahankan kebudayaan yang sudah ada selama menunjukkan
nilai yang positif dan berguna bagi kehidupan manusia, membuang nilai-nilai
yang bertentangan dengan ajaran Islam dan menggantikannya dengan yang baru yang
sesuai dengan ajaran Islam (al-muhafadzah ‘ala al-qadim as-shalih, wal
akhdzu bil jadid al–Ashlah). Inilah nilai dasar yang cukup signifikan untuk
dipedomani bagi seorang Muslim yang menaruh simpatik terhadap kajian Sejarah
Islam.
Sejarah Peradaban Islam diartikan sebagai
perkembangan atau kemajuan kebudayaan islam dalam perspektif sejarahnya, dan
peradaban islam mempunyai berbagai macam pengertian lain diantaranya, pertama:
sejarah peradaban islam merupakan kemajuan dan tingkat kecerdasan akal yang
dihasilkan dalam satu periode nabi Muhammad SAW sampai perkembangan kekuasaan
islam sekarang. Kedua: sejarah peradaban islam merupakan
hasil-hasil yang dicapai oleh umat islam dalam lapangan kesustraan, ilmu
pengetahuan dan kesenian. Ketiga: sejarah peradaban islam merupakan
kemajuan politik atau kekuasaan islam yang berperan melindungi pandangan hidup
islam terutama dalam hubungannya dengan ibadah-ibadah, penggunaan bahasa dan
kebiasaan hidup masyarakat.
F. Budaya
Islam Vs Budaya Arab
Pada dasrnya agama dan tradisi adalah dua
dunia yang berbeda, masing-masing mempunyai independensi. Memang terkadang wilayah
tradisi dan agama tumpang tindih, satu sisi, wilayah agama berasal dari “
normatifitas wahyu “ dan tradisi berasal dari “buatan manusia”, oleh sebab itu
tradisi cenderung berubah sesuai dengan perkembangan waktu dan perubahan zaman.
Nah, hal ini yang memungkinkan untuk ada asimilasi perilaku beragama dalam
kehidupan sehari – hari yang disesuaikan dengan tradisi yang berlaku.
Banyak hal yang harus kita pertimbangkan
dalam hal memposisikan nash dengan kebudayaan atau tradisi yang berkembang.
Bagaimanapun harus ada rekonsiliasi antara wahyu Tuhan dengan mempertimbangkan
faktor budaya, atau yang sifatnya kontekstual. Ini yang nantinya diperlukan
pribumisasi islam – meminjam istilah Gus Dur--. Karena, selain berkaitan dengan
tata sosial masyarakat budaya juga banyak yang bersinggungan dengan perilaku
beragama, khususnya yang berkenan dengan fikih.
Banyak penulis yang mengidentikkan
kebudayaan dan peradaban islam dengan kebudayaan dan peradaban Arab. Pendapat
itu mungkin dapat dibenarkan meskipun sebenarnya antara Arab dan Islam tetap
bisa dibedakan. Pada masa klasik pusat pemerintahan hanya satu dan peran Arab
di dalamnya sangat dominan. Semua wilayah kekuasaan Islam menggunakan bahasa bahasa
Arab. Semua ungkapan – ungkapan budaya yang diekspresikan melalui bahasa Arab.
Meskipun ketika itu bangsa- bangsa non Arab juga sudah mulai berpartisipasi
dalam membina suatu kebudayaan & peradaban. apalagi orang – orang non
muslim juga banyak menyumbangkan karya budayanya.
Akhir-akhir ini ada semacam gerakan yang
cukup masip dan radikal dengan, Adanya kecenderungan sejumlah pihak yang mengedepankan konstruksi syari’at islam
dalam wajah Arab sambil menafikan realitas tradisi yang lain. Padahal islam
bukanlah identik dengan Arab sebagaimana Indonesia bukanlah Arab secara
sosiokultural dan politisinya. Walaupun diakui sebenarnya tidak ada yang salah
bila menggunakan kebudayaan Arab dalam mengekspresikan keberagamaan seseorang,
dengan syarat tidak melahirkan sebuah konflik di tengah masyarakat yang
dibingkai dalam pemahaman konseptual yang kokoh..
Tetapi yang menjadi masaalah adalah manakala
penggunaan asumsi bahwa ”warna arab”tersebut
merupakan bentuk keberagamaan tunggal yang dianggap paling absah dan muthlak. Sehingga
hukumnya wajib diterapakan pada semua kondisi dan situasi secara paten. Hal
tersebut tentunya berimbas pada keadaan dimana ekspresi Arab menjadi dominan,
bahkan menghegemoni budaya dan tradisi yang berkembang di masyarakat lokal. Hal
yang lebih menggelisakan lagi adalah munculnya justifikasi-justifikasi seperti ebelum/tidak
kaffah (sempurna), sesat, bid’ah atau
musyrik kepada orang-orang yang tidak menggunakan ekspresi ”warna arab” tersebut. Soal penggunaan Jilbab
misalnya, sebagaian orang yang berjilbab memandang bahwa perempuan yang belum
menggunakan jilbab atau jilbabnya berbeda dengan jilbab yang biasa dipakai di
Arab, berarti Islamnya belum Kaffah.
Fenomena tersebut merupakan bagian dari
berbagai macam fenomena yang menggambarkan adanya konflik dan ketegangan antara
hukum Islam dan budaya. Muncul satu hal yang menjadi persoalan, yaitu apakah
budaya yang berkembang dalam masyarakat harus tunduk dalam ekspresi hukum islam
dalam corak Arab seperti di atas?.
G. Islam Normatif dan Islam Historis
Untuk membedakan wilayah budaya arab dan
budaya Islam dapat ditinjau dengan mengambil sebuah konsep bahwa dalam islam
terdapat kumpulan dogma normatifitas dan
Islam pada faktanya merupakan realitas Historis. Disinilah sehingga Budi
munawar rahman dalam (---bukunya Islam
dan peradaban--) mengatakan bahwa islam
itu terdapat dua macam nilai yakni islam berdimensi normatif dan islam berdimensi historis. Kedua aspek ini terdapat
hubungan yang menyatu, tidak dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Pertama;
aspek normatif yakni wahyu harus diterima sebagaimana adanya, mengikat semua
pihak dan berlaku universal.Kedua; aspek historis yakni, kekhalifahan
senantiasa dapat berubah, menerinma diskusi karena produk zaman tertentu, dan hal itu bukan hal yang saklar.
Pengertiaan dari Islam Normatif yakni, Islam dalam
dimensi saklar yang diakui adanya realitas transendemental yang bersifat mutlak
dan universal, melampaui ruang dan waktu atau sering disebut sebagai realitas
ke-Tuhan-an. Sedangkan pengertian dari Islam Historis yakni, islam yang tidak
bisa dilepaskan dari kesejarahan dan kehidupan manusia yang berada dalam ruang
dan waktu, Islam yang terangkat oleh konteks kehidupan pemeluknya, berada di bawah
realita ke-Tuhan-an.
Disamping konsepsi normatif dan hostoris untuk
menentukan budaya arab dan budaya Islam memungkinkan juga menggunakan
konsepsi Ushul dan furu’. Hal Dogma agama yang bersifat Ushul adalah normatif
yang universal sehingga ini merupakan ruh ajaran islam . Sementara aspek furu’ adalah nilai – nilai tradisi yang mengandung hal hal yang bersifat
furu’(Cabang) yang tidak bisa diterima secara mentah, akan tetapi
harus diambil nilai substansi yang meliputinya.
H. Babakan Sejarah Peradaban Islam
Di
kalangan sejarawan terdapat perbedaan pendapat tentang saat dimulainya sejarah
Islam. Secara umum perbedaan itu dapat dibedakan
menjadi tiga macam. Pertama, sejarah umat Islam dimulai sejak Nabi
Muhammad SAW menerima wahyu pertama kali. Menurut pendapat ini, selama tiga
belas tahun Nabi di Makkah telah lahir masyarakat Muslim, meskipun belum
berdaulat. Kedua, sejarah umat Islam dimulai sejak Nabi Muhammad SAW
hjrah ke Madinah, karena umat Islam baru berdaulat di Madinah. Ketiga, Peradaban
Islam dimulai sejak Nabi Adam karena semua Nabi yang diutus oleh Tuhan kepada
manusia, semuanya adalah Islam (Muslim).
Di
samping perbedaan pendapat itu, sejarawan juga berbeda pendapat dalam
menentukan fase-fase atau periodesasi sejarah Islam yang dibuat oleh ulama
Indonesia. Menurut A. Hasjmy membagi periodesasi
sejarah Islam adalah sebagai berikut :[9]
.
Permulaan Islam (610-661 M)
.
Daulah Amawiyah (661-750 M)
.
Daulah Abbasiyyah I (740-857 M)
.
Daulah Abbasiyyah II (847-946 M)
.
Daulah Abbasiyyah III (946-1075 M)
.
Daulah Mughol (1261-1520 M)
.
Daulah Utsmaniyyah (1520-1801 M)
.
Kebangkitan (1801–sekarang).
Berbeda
dengan A. Hasjmy, Harun Nasution membagi sejarah Islam menjadi tiga periode Yaitu
masa Klasik (650-1250 M),
Pertengahan(1250-1800 M) dan Modern(1800-sekarang) [10]
:
1. Periode Klasik (650-1250 M)
Periode klasik antara tahun 650
-1250 M. Ini diawali dengan persoalan dalam negeri Arab sendiri terutama
tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk
lagi terhadap pemerintahan Madinah. Hal tersebut disebabkan Karena orang Arab
menganggap bahwa perjanjian yang telah dibuat dengan Nabi Muhammad telah batal,
setelah wafatnya Rasulullah SAW. Setelah
persoalan dalam negeri selesai, maka Abu Bakar mengirim kekuatan keluar Arabia.
Pada masa kepemimpinan Umat Bin Khattab wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi
Jazirah Arabia, Palestina, Syiria dan Mesir.
Periode klasik yang berlangsung
sejak 650-1250 M. Ini dapat dibagi lagi menjadi dua: pertama, Masa
kemajuan Islam I, Masa kemajuan Islam I dimulai sejak tahun 650-1000 M. Masa kemajuan
Islam I itu tercatat sejarah perjuangan Nabi Muhammad SAW dari tahun 570–632 M.
Khulafaur Rasyidin dari tahun 632-661 M, Bani Umayyah dari tahun 661-750 M.,
Bani Abbas dari tahun 750-1250 M. Dan Kedua,Masa disintegrasi yaitu
tahun 1000-1250.
2.
Periode Pertengahan (1250-1800 M)
Periode pertengahan ini berkisar
antara tahun 1250-1800 M. pada masa periode ini merupakan masa kemunduran,
dengan diawali jatuhnya kota Baghdad ke tangan bangsa Spanyol, setelah Khilafah
Abasyiah runtuh akibat serangan tentara Mongol, kekuatan politik Islam
mengalami kemunduran secara drastis.
Pada tahun 1500-1800 M keadaan
politik ummat Islam secara keseluruhan mengalami kemajuan kembali setelah
muncul dan berkembangnya tiga kerajaan besar, yaitu Kerajaan Utsmani di Turki,
Kerajaan Syafawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India. Pada tahun 1700-1800
M, terjadilah kemunduran dari tiga kerajaan tersebut.
Selanjutnya periode pertengahan yang
berlangsung dari tahun 1250-1800 M, dapat dibagi ke dalam dua masa, yaitu:
Pertama, Masa
kemunduran I,
Masa kemunduran I berlangsung tahun
1250-1500 M. Di zaman ini desentralisasi dan disintegrasi serta perbedaan
antara Sunni dengan Syi’ah begitupun juga antara Arab dan Persia sangat
mencolok. Dunia Islam terbagi menjadi dua, pertama, Arab. Bagian Arab
terdiri dari Arabia, Irak, Suria, Palestina, Afrika Utara, dan Mesir sebagai
pusatnya. Kedua, Persia. Kebudayaan Persia mengambil bentuk
internasional dan dengan demikian mendesak lapangan kebudayaan Arab.
Pendapat bahwa pintu ijtihad sudah
tertutup makin meluas di kalangan umat Islam. Demikian juga tarekat dengan
pengaruh negatifnya. Perhatian terhadap ilmu pengetahuan kurang sekali. Umat
Islam di Spanyol dipaksa masuk KRISTEN atau keluar dari daerah itu.
Dan Kedua,
Masa tiga kerajaan besar
Masa Tiga Kerajaan Besar berlangsung
tahun 1500-1800 M yang dimulai dengan zaman kemajuan tahun 1500-1700 M dan
zaman kemunduran II tahun 1700-1800 M. Tiga kerajaan yang dimaksud adalah
Kerajaan Ustmani di Turki, kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di
India. Pada masa kemajuan tiga kerajaan besar tersebut, masingmasing kerajaan
mempunyai kejayaan, terutama dalam bentuk literatur-literatur dan arsitek.
Di zaman kemunduran, kerajaan
Ustmani terpukul oleh kekuatan Eropa, kerajaan Safawi dihancurkan oleh
serangan-serangan suku bangsa Afghan, sedangkan daerah kekuasaan kerajaan
Mughal diperkecil oleh pukulan-pukulan raja-raja India. Umat Islam dalam
keadaan menurun drastis. Akhirnya, Napoleon di tahun 1798 M, dapat menduduki
Mesir, yang pada saat itu sebagai salah satu peradaban Islam yang terpenting.
3. Periode
Modern (1800-sekarang)
Periode Modern dalam sejarah Islam
bermula dari tahun 1800 M dan berlangsung sampai sekarang. Diawal periode ini
kondisi Dunia Islam secara politis berada di bawah penetrasi kolonialisme. Baru
pada pertengahan abad ke-20 M Dunia Islam bangkit memerdekakan negerinya dari
penjajahan Barat.
Periode ini memang merupakan
kebangkitan kembali Islam, setelah mengalami kemunduran di periode pertengahan. Pada periode
ini dimulai bermunculan pemikiran pembaharuan dalam Islam. Gerakan pembaharuan
itu muncul karena dua hal yaitu:
-
Timbulnya
kesadaran di kalangan ulama bahwa banyak ajaran-ajaran asing yang masuk dan diterima sebagai ajaran Islam.
-
Barat
mendominasi Dunia di bidang politik dan peradaban, karena itu mereka berusaha
bangkit dengan mencontoh Barat dalam masalah-masalah politik dan peradaban
untuk menciptakan balance of power.
Periode modern tahun 1800 M dan seterusnya merupakan zaman kebangkitan umat
Islam. Jatuhnya Mesir ke tangan Barat menginsyafkan Dunia Islam akan kelemahan
dan menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah tumbuh peradaban baru yang
lebih tinggi dan merupakan
ancaman bagi Islam. Raja-raja dan pemuka Islam mulai memikirkan bagaimana
meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali. Di periode Modern inilah
timbulnya ide-ide pembaharuan dalam Islam.Ulama umumnya memakai periodenisasi
yang digunakan oleh Harun Nasution dalam membagi periodenisasi sejarah umat
Islam (Atang, Hakim dan Mubarok, 2000:139). Harun Nasution memulai
periodenisasi tahun 650 atau pada zaman Ustman karena pada pemerintahan Ustman timbul berbagai macam
pertentangan baik teologi maupun pertentangan politik.
Berkaitan dengan babakan sejarah diatas ada beberapa catatan yang perlu
dicermati Masalah keterputusan periode klasik dengan masa Rasulullah. Harun
memulai periode klasik dari tahun 650 M, yang terkenal dengan masa Khalifah
Usman (644–656 M). Pertanyaannya adalah mengapa tidak mulai sejak zaman
Rasulullah (611–634) dan tidak juga pada masa Khalifah Abu Bakar (632–634) dan
Umar ibn Khattab (634–644 M).
Padahal oleh banyak peneliti sejarah khususnya dari kalangan ummat Islam
sendiri dikatakan bahwa Rasulullah sampai masa Abu Bakar dan Umar merupakan
masa keemasan yang hakiki dari sudut komitmen ummatnya kepada Islam, bukankah
komitmen ke Islaman itulah yang melahirkan produk–produk kebudayaan Islam.
Harun memulai babakan itu dari masa Ustman, karena ia menitik beratkan pada
saat dimana pertentangan teologis dan politik mulai tumbuh dan mewarnai masa
berikutnya. Karena itu periodenisasi yang dirumuskan dimuka cocok bila titik
berat diberikan sejarah perkembangan pemikiran Islam.
I. KESIMPULAN
Sejarah
peradaban Islam merupakan salah satu bidang kajian studi Islam yang banyak sangat
penting . Sejarah Islam adalah peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang
sungguh terjadi pada masa lampau yang
seluruhnya berkaitan dengan agama Islam. Agama Islam terlalu luas cakupannya,
maka sejarah Islam pun menjadi luas cakupannya. Di antaranya berkaitan dengan
sejarah proses pertumbuhan, perkembangan, dan penyebaran Islam, tokoh-tokoh
yang melakukan perkembangan dan penyebaran agama Islam, sejarah kemajuan dan
kemunduran yang dicapai umat Islam dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang ilmu
pengetahuan agama dan umum, kebudayaan, arsitektur, politik, pemerintahan,
peperangan, pendidikan, ekonomi, dan lain sebagainya. Sejarah Peradaban Islam
adalah gambaran produk aktivitas kehidupan ummat Islam pada masa lampau yang
bersumberkan pada nilai–nilai Islam.
Pada masa Klasik, pusat pemerintahan hanya satu (yaitu
bangsa Arab) dan untuk beberapa abad sangat kuat. Peran bangsa Arab sangat
dominan, sehingga ungkapan budaya yang ada semuanya diekspresikan melalui
Bahasa Arab, pada akhirnya terwujud kesatuan budaya Islam yang semuanya dalam dokumentasinya
berbentuk bahasa arab.
Untuk
membedakan wilayah budaya arab dan budaya Islam dapat ditinjau dengan mengambil
sebuah konsep bahwa dalam islam terdapat
kumpulan dogma normatifitas dan Islam pada faktanya merupakan realitas
Historis. Disamping konsepsi normatif dan hostoris untuk menentukan budaya arab dan budaya Islam memungkinkan juga menggunakan
konsepsi Ushul dan furu’.
Di
kalangan sejarawan terdapat perbedaan pendapat tentang saat dimulainya sejarah
Islam. Yang umum digunakan dalam periodesisasi sejarah peradaban islam dibagi
menjadi tiga masa yakni, klasik, pertengahan dan modern.
Daftar Pustaka
A. Hasjmy Sejarah
Kebudayan Islam di Indonesia,Jakarta: Bulan Bintang, 1993
Ahmad Syalaby, Tarikh al
Islamiyah al hadzarah al islamiyah,Kairo; …. cetakan ke IV, 1978
Badri Yatim,Sejarah
Peradaban Islam,Jakarta;Rajagrafindo,1993
Basssam Tibu, Islam Budaya
dan Perubahan Sosial, Jakarta, Tiara Wacana,…..,
Dudung abdurrahman, Metode
Penelitian Sejarah,Jakarta; LOGos, 1999
Harun Nasution
Poerwadarminto,Kamus
Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1992
Sayyid Quthub, Konsepsi Sejarah dalam Islam,Jakarta;Pedoman ilmu
Jaya , 1992, cet II, Terjemahan Tarikhuna
fi dzou’il al Islam, penerjemah Nabhan Husein
Yusri Abdul Ghani Abdullah, Historiografi
islam;dari klasik hingga modern, Yakarta;Rajagrafindo, 2004
[3] Dudung abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah,(Jakarta;
LOGos, 1999),2-3
[4] Sayyid Quthub, Konsepsi
Sejarah dalam Islam,(Jakarta;Pedoman ilmu Jaya , 1992, cet II,) 40-55, Terjemahan
Tarikhuna fi dzou’il al Islam,
penerjemah Nabhan Husein
[5] Ahmad Syalaby, Tarikh al Islamiyah al hadzarah al islamiyah,(Kairo; …. cetakan ke
IV, 1978), 10
[6] Yusri Abdul Ghani Abdullah, Historiografi islam;dari klasik hingga
modern, (Yakarta;Rajagrafindo, 2004), VII - IX
[7]
Basssam Tibu, Islam Budaya dan Perubahan Sosial, (Jakarta, Tiara
Wacana,…..)….
[8] Badri Yatim,Sejarah Peradaban
Islam,(Jakarta;Rajagrafindo,1993):7
[9] A. Hasjmy Sejarah Kebudayan Islam di Indonesia,(Jakarta:
Bulan Bintang, 1993) 55
[10] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam,;Sejarah Pemikiran dan Gerakan ((Jakarta:Bulan
Bintang,1982) 12 - 14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar